HARTA PALING BERHARGA (Cerpen Cerita Rakyat)
Seorang lelaki bertubuh kurus berlari kencang menuju gubuk di dalam hutan. Dia memandang sekilas bangunan yang sudah tampak rapuh itu. Hujan yang mulai turun dengan deras memaksanya untuk segera berlindung dalam naungan.
“Permisi.” Dia mengetok pintu. Namun, tak ada jawaban. Sebenarnya lelaki itu juga tak yakin gubuk ini berpenghuni karena kondisinya seperti tidak pernah disentuh manusia, sangat kotor.
Sang lelaki kembali mengetok pintu sampai tiga kali, tetapi tetap tak ada jawaban. Sementara itu, di luar sini guntur bersahutan menggelegar, makin mencekam. Angin kencang pun menerbangkan ranting-ranting pohon di sekitar gubuk. Tak pelak angin itu ikut membawa air hujan, membasahi pakaian sang lelaki. Dia basah kuyup dan kedinginan.
Perlahan lelaki itu mendorong pintu papan di depannya. Dia sebenarnya ragu, tapi bagaimana lagi? Keadaan memaksa. Saat langkahnya memasuki ruangan, seketika bau tak sedap menguar menusuk penciuman. Baunya busuk … sangat busuk, bahkan lebih menyengat daripada bau bangkai tikus. Salah satu tangannya menutup hidung dan mulut untuk mengurangi bau. Lantai berderak bersamaan dengan langkah sang lelaki.
Sebuah cahaya berkilau tampak dari tengah ruang. Lelaki itu memincingkan matanya, kemudian tiba-tiba mematung. Badannya seketika beku, matanya membulat dengan mulut menganga. Dia … melihat pemandangan yang sangat mengerikan!
***
Enam bulan sebelumnya
“Izinkan saya ikut bertapa bersamamu, Tuan Abi Sajala.” Seorang pemuda bernama Thoat mengiringi langkah sesepuh di desanya.
“Dengar, Anak Muda. Bertapa di puncak gunung artinya melepas semua kesenangan duniawi. Kamu tidak akan sanggup.” Abi Sajala mengusap peluh di kening karena sengatan matahari pagi.
“Saya ingin membersihkan diri dari dosa-dosa, Tuan.” Thoat mempercepat langkah, mengejar sang pertapa yang berjalan makin gesit.
Langkah Abi Sajala tiba-tiba terhenti. Kemudian, dia menatap tajam sang pemuda. “Di sana kita hidup bersama alam, menjauh dari kebisingan dunia.”
Thoat mengernyit ragu. Dia sebenarnya sangat ingin berguru pada sang pertapa. Namun, pikirannya bergejolak, apakah dia sanggup? Lelaki bertubuh tambun itu berpikir sejenak, bertemu dengan guru terkenal adalah kesempatan langka. “Iya, Tuan. Saya akan menuruti perintah, menjauhi duniawi.”
“Baiklah. Dengan satu syarat … kalau tidak sanggup mengikuti langkahku atau terpengaruh gemerlap dunia di perjalanan, kamu harus pulang!”
“Baik, Tuan.” Thoat mengangguk mantap.
Saat mereka meneruskan perjalanan menuju pegunungan, beberapa pemuda yang melihat Abi Sajala tertarik ikut menimba ilmu pertapaan. Mereka adalah Danih, Langun, dan Darham. Tentu saja sang pertapa mengajukan syarat yang sama kepada para pemuda itu. Awalnya mereka ragu, tapi Thoat menyemangati. Akhirnya, mereka berempat berjalan beriringan di belakang sang pertapa.
Perjalanan yang harus ditempuh ternyata tidak mudah. Mereka harus melewati jalanan terjal, sungai, dan hutan. Semak belantara sering menutupi jalan, menghalangi langkah mereka. Golok tajam pun harus dihunus agar tanaman-tanaman itu tersingkir. Belum lagi gangguan hewan-hewan hutan semacam ular, kera, babi hutan tak segan menyerang. Para pemuda itu mulai lelah dan sedikit takut. Mereka tak terbiasa menghadapi hewan-hewan liar.
“Suara apa itu?!” Langun, pemuda yang berbadan paling kecil, berteriak panik. Dia mendengar geraman binatang dari kejauhan. Lelaki itu melangkah mundur dengan wajah ketakutan.
“Tenang ….” Abi Sajala mengangkat sebelah tangannya, memberi isyarat agar semua diam.
Gerisik daun-daun terdengar semakin dekat. Sepertinya ada hewan besar, terlihat dari gerakan tanaman di depan mereka. Mereka masih terdiam, menunggu … entah hewan seseram apa yang ada di depan.
Bayangan itu sedikit demi sedikit makin jelas. Semak belukar tinggi di hadapan mereka tersibak. Kini mereka bisa melihat hewan itu dengan sangat nyata. Seekor harimau! Ia mengaum keras, seolah-olah sedang kelaparan melihat mangsa lezat di hadapannya.
Langun terlonjak ke belakang; badan Danih dan Darham bergetar hebat. Golok yang mereka bawa pun sampai terjatuh karena tak bisa menahan getaran tangan. Sementara itu, Thoat masih berdiri di samping sang guru.
Harimau itu mendekat perlahan, tepat berhadapan dengan sang sesepuh.
“Tenang … jangan bergerak.” Sekali lagi Abi Sajala berkata.
Tentu saja para pemuda itu tak bisa benar-benar menurut. Danih dan Darham terjengkang ke belakang sampai terkencing-kencing. Langun? Dia pingsan!
Abi Sajala maju dengan gagah, menantang sang harimau. Dia menatap tajam pada sang raja hutan. Hewan bertaring tajam itu kembali mengaum, memperlihatkan tetes air liur dari mulutnya! Lalu, ia diam. Lama … sang pertapa dan harimau menyatukan pandangan, seolah-olah beradu kekuatan tak kasatmata.
Thoat, Danih, dan Darham hanya bisa menahan napas seiring detak jantung yang mengencang saat menyaksikan perilaku aneh sang guru. Mereka menajamkan pandangan sampai lupa berkedip.
Entah ilmu apa yang tersimpan dalam tatapan sang guru, harimau itu tiba-tiba membalikkan badan, kemudian melangkah pergi.
Para pemuda masih gemetar saat Abi Sajala berjalan ke arah mereka. “Ba—bagaimana cara Tuan mengusirnya?” Danih terbata.
Abi Sajala tersenyum tenang. “Mudah. Jangan sampai ketakutan menguasaimu.”
Kemudian, lelaki tua itu mengusap wajah Langun dengan air sambil berkomat-kamit. Pemuda berambut keriting yang tadinya pingsan pun membuka mata.
“Di depan sana kita mungkin akan bertemu hewan-hewan buas lain. Kamu masih sanggup, Langun?” Abi Sajala mendudukkan Langun.
“Maaf, Tuan. Saya … tak bisa melanjutkan. Saya kembali saja.” Suara Langun bergetar. Dia menoleh ke kiri-kanan, takut makhluk buas itu datang lagi.
Sebuah senyum tersungging di wajah Abi Sajala. “Ya, memang belum waktunya kamu ikut denganku. Pergilah!”
Langun berbalik arah dan pergi dengan langkah cepat, sedangkan ketiga pemuda lainnya mengikuti Abi Sajala. Mereka melanjutkan perjalanan menuju pertapaan, melewati rawa-rawa dengan makhluk penghisap darah, mendaki tebing-tebing terjal dan licin.
Saat sampai di daerah yang dipenuhi pohon Jati, sebuah sinar terang memantul dari balik tanaman. Darham dan Danih berlari menuju benda berkilauan itu. Mulut mereka menganga saat melihat benda tersebut.
“Besar sekali. Apa ini sungguhan?” ucap Danih takjub.
Darham hendak meraih benda tersebut, tapi tangannya ditepis oleh Danih. “Hei, sabar!” Danih memelotot. Dia memasang badan, menjaga benda tersebut agar tak diambil alih siapa pun.
Thoat mendekat. “Kalian lupa? Tinggalkan gemerlap dunia!”
“Kamu gila? Kita bisa kaya jika membaginya sama rata!” Darham berteriak kegirangan.
Abi Sajala menghela napas panjang, lalu menggeleng kecewa. “Ambillah dan pulanglah! Kalian belum siap meninggalkan duniawi.”
Darham dan Danih saling berpandangan, merasa bersalah.
“Maaf, Tuan. Kami memang belum sanggup.” Danih berkata.
Darham dan Danih berputar arah untuk kembali pulang, sedangkan Thoat bersama Abi Sajala meneruskan perjalanan menuju tempat pertapaan.
***
“Itu ada gubuk. Kita istirahat saja dulu di sana, Darham.” Danih yang mulai letih tampak terengah-engah.
Saat mereka mengetuk pintu gubuk, tiba-tiba muncul Langun dari balik pintu. “Hai, ternyata kalian! Gubuk ini enggak ada pemiliknya. Aku menunggu besok untuk meneruskan perjalanan karena hari sudah gelap.”
Darham dan Danih menyambut Langun dengan senyum terpaksa. Sebenarnya mereka tidak senang akan keberadaan Langun.
‘Langun pasti akan minta bagian!’ pikir kedua orang itu.
Langun mengarahkan pandangan pada benda bulat besar yang mereka bawa. “Apa itu?” Wajah Langun tampak takjub.
“Kami pulang karena ini,” jawab Darham hati-hati.
“Wah, besar sekali! Ini bisa kita bagi sama rata.” Langun tampak gembira.
Darham dan Danih gelisah, lalu menyatukan pandangan penuh arti.
Matahari mulai pulang ke peraduannya, suasana benar-benar gelap. Hawa dingin merayap masuk ke sela-sela gubuk. Ketiga orang itu sengaja tak langsung tidur, mereka bercakap-cakap sembari bersendagurau. Mereka tertawa-tawa, tetapi pikirannya diliputi kecurigaan. Masing-masing mengincar harta berharga di depannya, menunggu temannya terlelap agar bisa kabur membawa benda itu seorang diri.
Malam beranjak makin larut. Darham dan Danih tak dapat lagi menahan kantuk karena kelelahan di perjalanan. Danih tidur sambil memeluk benda bercahaya itu. Selang beberapa saat, Langun yang masih terjaga mengendap-endap perlahan, berusaha mengambil benda bulat itu. Salah satu tangannya memegang belati untuk berjaga-jaga. Kemudian, secara hati-hati dia berusaha melepaskan tangan Danih dari benda itu. Tak disangka, Danih menggeliat dan bangun.
“Hei, mau apa kamu?!” teriak Danih.
Langun panik, dengan gerakan cepat menancapkan belati ke perut Danih.
“Aaargh!”
***
Enam bulan telah berlalu. Thoat yang telah belajar banyak berpamitan pada sang guru. Dia ingin menyebarkan ilmu agama yang dipelajarinya kepada rakyat di desanya.
“Pulanglah. Hanya satu pesanku. Jangan berhenti belajar!” Abi Sajala berkata.
Thoat mulai menuruni gunung saat matahari baru saja terbit. Dia menyusuri semak belukar menuju arah selatan. Pemuda itu kembali melewati jalanan terjal yang licin, rawa-rawa, dan sungai. Sesekali dia juga bertemu binatang-binatang buas.
Saat hari menjelang sore, hujan mulai turun. Thoat berlari mencari tempat berteduh. Kebetulan sekali di depannya ada sebuah gubuk reyot.
“Apa ini?!” Badan Thoat bergetar hebat melihat pemandangan mengerikan di depannya.
Di dalam gubuk itu terdapat beberapa kerangka mayat yang sudah membusuk. Ratusan belatung merambat di mana-mana. Bekas darah kering berceceran memenuhi lantai dan dinding. Di tengah ruangan terdapat benda berkilau yang sangat dikenali Thoat, benda yang dahulu dibawa pulang oleh kawan-kawannya. Benda berbentuk bulat besar. Emas!
Thoat berjongkok mengamati kerangka-kerangka itu, salah satu tangannya masih menutup hidung dan mulut. “Aku ingat pemilik ikat kepala dan ikat pinggang ini. Juga baju ini … baju yang kupinjamkan pada Langun.” Dia bergumam sendiri, lalu menunduk sedih. Lelaki itu mengamati percikan-percikan darah yang menciprati dinding sembari berusaha membayangkan peristiwa yang telah terjadi.
***
“Hei! Kamu mau lari bersama emas itu sendirian, Langun?! Pencuri!” Darham terbangun saat mendengar teriakan kawannya yang kesakitan. Dia meraih sebatang kayu besar di dekatnya dan menghantam kepala Langun dengan seluruh tenaga.
Seketika Langun roboh. Tubuhnya menghantam lantai papan dengan suara debum keras. “Aaargh!” Langun meringkuk memegangi kepalanya. Darah segar mengalir deras membasahi seluruh rambut lelaki itu.
Darham segera berlari ke arah emas besar itu. Danih yang masih merintih kesakitan berhasil mencabut belati dari perutnya, dengan sisa tenaga dia menerjang Darham dengan keras sehingga limbung ke lantai. Danih menindih Darham, lalu menghunus belati tepat di jantung kawannya itu.
Darah segar memancar dari badan Darham. Dia mengejang, kemudian ... tak lagi bergerak.
Danih menyeret tubuhnya sendiri yang makin lemah ke arah emas besar di tengah ruang. Namun, saat jarinya bisa menyentuh emas itu, napasnya tersengal, pandangannya mendadak buram, dan segalanya menjadi gelap.
Sunyi … tak ada lagi teriakan. Hanya tertinggal suara lirih aliran darah dari luka ketiga pemuda yang mengalir deras, membasahi harta berharga yang mereka perebutkan—emas sebesar buah kelapa.
TAMAT
Bandung, 16 Mei 2021
Ditulis kembali dengan modifikasi dari cerita rakyat “Buah Kelapa Emas”: Hakim, Zaenal. (2006). Empol dan Empil—Kumpulan Cerita tentang Harta Emas Permata. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
0 Komentar