Enigma (Cerpen)

 



Tinggal selangkah lagi aku sampai di depan pintu rumah saat mendengar jeritan Mama dan debum keras dari dalam. Suara berbagai macam benda yang dibanting membuat jantungku mendadak berdegup kencang. Dengan tangan gemetar aku berusaha membuka pintu, tapi terkunci.


“Ma, buka! Mama baik-baik saja?! Mama!” Kugedor keras pintu kayu berwarna cokelat tua di depanku. 


Keadaan di dalam mendadak hening sesaat ketika aku baru saja bersuara. Lalu, Mama berteriak, “Pergi, Velorina!”


Pintu di depanku tiba-tiba saja bergoyang-goyang. Jelas ada orang lain di dalam karena Mama sepertinya menghalangi seseorang yang hendak menerobos pintu itu. 


Kakiku tak dapat bergerak. Aku mematung dengan debar dada makin bergemuruh, hanya memandangi pintu cokelat itu dengan mata memelotot. Apa aku harus pergi meninggalkan Mama?


“Pergiii Velorina!” Mama berteriak lebih keras. Kali ini dengan lengkingan panjang. 


Aku baru saja berbalik hendak berlari saat pintu terbuka keras. Sebuah jemari besar menangkap pergelangan tanganku. Genggamannya terasa begitu dingin. Ya, seperti es yang baru saja keluar dari kulkas. Aku menoleh ke belakang. Kulihat seorang lelaki paruh baya berbadan besar. Dia melebarkan senyum dengan mata bersinar. Aku sedikit tercengang melihat wajah putihnya. Demi Tuhan, lelaki itu benar-benar tampan, tapi auranya menakutkan! 


“Nona Velorina Baxter,” ucapnya dingin dengan seringai mengerikan.


“Kumohon, jangan ganggu anakku, Tuan!” Mama berusaha berontak. Tangan seorang wanita berambut pirang panjang menyandera Mama: bersiap mencekik leher. Wanita itu mempunyai seringai dan aura yang sama dengan lelaki tadi.


Sang lelaki tertawa sangat keras. Nada tawanya menakutkan. “Anak katamu?!” Dia memandangiku dari ujung rambut sampai kaki, lalu mendekatkan wajahnya ke arahku, mengendus-endus seperti binatang.


“Sudah kubilang, Velorina bukan golonganmu. Dia telah kutandai. Kamu tidak bisa mengambilnya, Tuan Drake.” Mama terlihat sangat marah.   


Drake? Siapa dia? Lelaki itu masih mencengkeram erat lenganku. Bulu kudukku meremang. Berada di dekatnya sudah cukup membuatku kedinginan. 


“Ya … dia tidak berubah.” Drake menyentuh daguku dengan ujung jari telunjuknya. Dengus napasnya terasa dingin di wajahku. Hidung yang tinggi itu hampir saja menyentuh hidungku.


Badanku benar-benar bergetar hebat saat sorot tatapan Drake menusuk penglihatanku. Aku tak dapat bergerak!


“Kita pergi!” Wanita yang tadi menyekap Mama berjalan pelan ke luar. Dia menoleh sebentar ke arahku dengan pandangan sinis, lalu membuang muka. 


Drake melepasku. Aku tidak tahu ke arah mana mereka pergi. Saat aku berbalik, mereka tak lagi terlihat di sepanjang jalan. 


“Mama baik-baik saja, kan?” Aku berjongkok, membantu Mama yang jatuh lemas. Mataku  menelusuri semua bagian rumah yang benar-benar berantakan. Barang-barang pecah di mana-mana. Kursi dan meja terbalik tak karuan.


“Ma, siapa mereka?” tanyaku lagi. Namun, tak ada jawaban. “Ma, siapa mereka?”


Mama menggeleng lemah, seolah-olah berkata, “Kamu tak perlu tahu.”


Aku mengernyit. Ini aneh! Mama tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku. Biasanya kami selalu terbuka.


***


Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Sejak kejadian menegangkan itu, kondisi Mama makin lemah. Entah kenapa, sepertinya Mama menua dengan sangat cepat. Keriput di wajah dan badannya bertambah setiap hari. Saat ini Mama terlihat seperti seorang nenek yang berusia tujuh puluh tahun. Padahal, Mama kira-kira berusia empat puluhan.


Keadaan Mama membuatku bingung. Mama entah sakit apa. Saat kuajak ke dokter, dia selalu menolak dengan tegas, “Aku tidak sakit”.  Karena itu, aku menjalani hari demi hari dengan perasaan risau. Beberapa kali aku membuat kesalahan di sekolah dan di restoran tempat kerja paruh waktu, kadang berakhir dengan omelan panjang dari supervisor. 


Sore itu aku baru saja pulang kerja saat kudapati Mama tergolek lemah di sofa. 


“Ma, kita ke rumah sakit sekarang!” Aku sudah hampir menekan nomor telepon ambulans saat Mama menangkis ponselku hingga jatuh ke lantai.


“Tidak perlu. Mereka tidak akan bisa menyembuhkanku.” Mama sedikit merintih kesakitan.


“Ma, please!”


“Dengar, Velorina … mungkin waktuku sudah habis sekarang. Kamu … harus tahu semuanya.” Nada suara Mama makin lemah terdengar.


“Apa maksud Mama?”


“Aku bukan mamamu, Nak.” Lesung pipi di wajah tirus itu terlihat saat Mama tersenyum.


Aku menahan napas, rasanya seperti baru menelan jarum besar di tenggorokanku. 


“Pegang tanganku dan tatap mataku,” ujar Mama lemah.


Kupegang tangan Mama dengan gemetar. Mama menyatukan pandangan denganku. Lalu, kejadian saat berhadapan dengan lelaki asing itu terulang: Aku tak dapat bergerak saat menatap lekat mata Mama. Badanku bergetar hebat dengan bulu kuduk meremang. Lalu, semua gelap.


***


Mataku mengerjap. Aku berada di sebuah hutan gelap dengan pohon-pohon besar. Tangkai-tangkainya seperti tangan-tangan dengan cengkeraman berkuku panjang. Tampak kabut tipis berwarna biru di sekitarnya. Lolongan suara serigala terdengar bersahut-sahutan membuatku bergidik. Ini pasti bukan hutan biasa!


Tiba-tiba aku melihat seorang wanita berambut hitam berlari dengan kecepatan tak wajar, super cepat! Dia melompat ke pohon di sampingnya dengan mudah, seperti hewan. Wanita itu berdiri di tangkai pohon besar. Tangannya seperti menggendong sesuatu. Lalu, aku mendengar suara tangisan. Seorang bayi! Dia ternyata menggendong bayi.


Beberapa orang melesat menyusul wanita itu, sekitar sepuluh orang. Bahkan, beberapa di antaranya dapat terbang. Ya Tuhan, makhluk apa mereka itu?! Aku bergeming. Anehnya, aku bisa melihat mereka dengan jelas, tanpa perlu bergerak mengikuti, seperti sedang menonton televisi.       


Dua orang yang terbang mencengkeram kedua tangan wanita yang berada di atas pohon. Mereka mengapit di sisi kiri dan kanan. Lalu, wanita itu berontak turun dengan melakukan gerakan salto sambil tetap mendekap sang bayi. Sebuah sinar terang menghantam kedua orang tadi. Pohon besar itu pun ikut ambruk terimbas dahsyatnya sinar. 


Sayangnya, saat berada di bawah dia terkepung! Entah bagaimana, orang yang mengejarnya kini sudah berjumlah dua kali lipat. Aku bahkan tak melihat kapan mereka datang.    


Sang wanita berdiri kaku di tengah-tengah. Lalu, seorang lelaki berbadan besar mendekat, matanya berkilat merah.


“Berikan bayi itu. Dia harus mati.” Wajah lelaki itu terlihat jelas di mataku. Dia Drake! 


“Tidak!” Wanita itu berteriak sembari mendekap erat sang bayi.

 

Aku berusaha menajamkan penglihatan. Jantungku seolah-olah berhenti berdegup. Napas terhenti sesaat saat aku mengenali wajah wanita itu. Mama!


“Jangan bodoh! Dia anak setengah manusia. Dia harus mati!” Lelaki itu meraung seperti harimau.


“Tidak, Tuan. Bayi ini tidak terkontaminasi, darahnya murni manusia.” Suara Mama bergetar.


Drake menyeringai, “Murni? Bayi itu anak kakakmu! Kamu mau membohongiku?” Dia diam sesaat, lalu mengembangkan senyum dingin. “Kalau begitu, berikan padaku untuk makan malam hari ini.”


“Bayi ini sudah kutandai menjadi milikku. Korban yang telah ditandai tidak boleh diambil orang lain, kan? Ini sudah perjanjian, Tuan.” Mama menunjuk sebuah tanda merah di leher belakang bayi itu. 


Aku tertegun sambil meraba bagian belakang leherku. Memang ada sebuah tonjolan kecil di sana. Kukira itu hanya tanda lahir biasa. Jadi, bayi itu?


“Apa tidak cukup telah membunuh kakak lelakiku, Tuan? Kenapa harus mengincar bayi ini?”


“Karena bayi setengah manusia akan menghancurkan dunia kita, Zella. Apa kamu tidak tahu itu?!”


“Bayi ini 100% manusia. Tinggalkan kami!”


Lelaki itu mendekati Mama, lalu mengendus sang bayi, persis seperti apa yang dilakukannya padaku waktu itu. Matanya berkilat. Lalu, dia tersenyum sinis. “Aku akan datang padamu delapan belas tahun lagi. Kita lihat apakah kamu masih murni manusia.”   


Tiba-tiba sebuah sinar menyilaukan datang membutakan mataku. 


***


Aku mengerjap saat tersadar telah berada di hadapan Mama. Genggamannya kini terasa sangat dingin, seperti tangan Drake waktu itu.


Keringat telah membasahi badanku dengan degup jantung kencang yang tak mereda.  "Aku … aku. Mereka apa?" Saking gugupnya, aku tak dapat merangkai kata dengan benar. Otakku benar-benar kacau.


"Aku tak bisa abadi karena telah berjanji pada diri sendiri tak akan meminum darah manusia lagi, hanya makan hidangan manusia untuk bertahan hidup walaupun terasa hambar. Ini juga untuk menghilangkan insting berburuku agar bisa membesarkanmu." Mama tersenyum lemah. Pupil matanya berubah menjadi merah darah.


Aku tertegun. "Aku … Mamaku di mana?"


"Dia meninggal saat melahirkanmu. Papamu bertarung dengan penguasa klan dan tak selamat." Mata Mama, ah bukan, mata Tante mulai berkaca-kaca.


“Dengar, aku telah memberimu kekuatan perlindungan tapi mungkin tak akan bertahan lama. Tenagaku sekarang benar-benar habis.” Suara wanita itu melemah. ”Aku harus pergi sekarang. Jaga dirimu Velorina Baxter.” Genggamannya mengendur.  Sebelah tangan Tante mengarahkan wajahku mendekati wajahnya. Dia mengecup keningku. Lalu, sebuah sinar putih hadir dan angin kencang datang menggulung tubuh Wanita itu. Aku terhempas ke belakang.  


Perlahan tubuh Tante menghilang menjadi debu. Aku tak dapat bersuara sama sekali sampai angin itu mereda. Beberapa detik setelahnya tubuhku luruh ke lantai. Lalu, aku menangis tak terkendali.


***


“Elizabeth, tolong bantu bersihkan ayamnya,” pintaku pada teman kerja. “Aku harus mengantar pesanan ini ke meja sepuluh.”


Temanku mengeluarkan ayam mentah yang baru saja datang. Darah ayam itu masih tersisa sedikit di wadah tempat ayam disimpan. Untungnya, darahnya tidak berbau amis seperti biasa, baunya lebih segar.


Setahun telah berlalu sejak aku kehilangan Tante. Setelah lulus sekolah, aku tetap melanjutkan hidup dengan bekerja dari restoran satu ke restoran lainnya. Kejadian aneh terakhir yang kualami adalah orang-orang di sekitarku seolah-olah tak pernah mengenal Tante. Katanya, aku sejak kecil tinggal sendirian. Konyol! Padahal, jelas-jelas aku sering melihat para tetangga bercengkerama dengan Tante. Lagipula, bagaimana caranya anak kecil tinggal sendiri?


Well, semua sudah berlalu dan aku hanya harus menerima semua keanehan itu. Ya, karena memang aku keturunan dari makhluk aneh juga.


Aku hendak melangkah ke dapur setelah mengantar pesanan saat supervisorku menawarkan biskuit dan soft drink. “Ini, makanlah.”


Kuambil beberapa biskuit itu, makanan yang biasa dia bawa. Aku mengunyahnya, lalu merasakan makanan itu begitu hambar: tak ada manis, asin atau apa pun. Aneh, padahal biasanya kue itu terasa sangat manis. Aku segera menyambar soft drink berwarna merah dan membuka tutup botolnya. Lagi-lagi, lidahku mati rasa saat meneguknya. Ada apa ini? 


Aku segera melangkah ke dapur berharap bisa mencari sesuatu untuk dirasakan lidah. “Elizabeth—” Kalimatku terpotong saat mencium aroma segar di depanku.


“Jariku terkena pisau!” Elizabeth panik karena darahnya begitu deras mengucur.


Aroma darah itu begitu menyengat hidungku. Entah kenapa, baunya terasa sangat manis. Perutku tiba-tiba saja berkeriuk nyaring.


“Sini kubantu. Biar aku saja yang pegang pisaunya.” Aku tersenyum.


TAMAT 

Bandung, 01 Januari 2022

0 Komentar