Paha Ayam (Cerpen)
Berulang kali Galih menatap ponselnya yang membisu, berharap ada denting notifikasi di sana. Namun, nihil, benda pipih itu tetap saja tak bersuara. Sudah pukul 14.00, tapi hari ini dia belum mendapat order sama sekali, baik itu penumpang atau pengantaran makanan.
Di atas motor, Galih menyandarkan tubuhnya ke pohon, berlindung dari sengatan matahari. Perut lelaki itu pun mulai berteriak riuh. Dia mengambil botol minum di dashboard motornya, berharap air dapat menyamarkan rasa lapar. Memang semenjak pagi hanya dua buah bakwan yang telah dikunyahnya, itu pun diberi oleh kawan mangkalnya.
Saat ini kepala lelaki itu begitu pening menahan lapar, terlebih mengingat perkataan putri kecilnya ketika hendak berangkat, "Ayah, hari ini, kan, Dedek ulang tahun. Dedek mau ayam goreng. Paha, ya!" Bocah yang baru saja berusia sembilan tahun itu berteriak penuh harap.
Galih hanya tersenyum. Diusap dan dikecupnya kepala gadis mungil itu. Tak ada kata terucap dari bibir Galih. Tentu tidak, dia takut tak bisa menepati janji. Baginya seorang ayah tak boleh ingkar janji.
Daging ayam adalah hal mewah bagi keluarganya. Selama dua bulan terakhir ini, bisa membeli telur ayam saja merupakan keberuntungan bagi Galih dan keluarganya. Tampaknya hanya keajaiban yang bisa mengabulkan permintaan putri semata wayangnya itu.
"Sepi, ya. Lockdown di mana-mana. Ngga ada orang kerja. Kita jadi ngga laku gini, euy." Robi, teman mangkal Galih, mendengkus kesal sembari menghirup rokoknya.
"Iya, gimana lagi? Katanya biar ngga banyak yang kena virus. Tapi, ya, jadi banyak yang kelaparan juga kalau gini. Dilema, ya." Galih menatap kosong jam tangannya yang telah bergerak ke angka tiga bersamaan dengan denting notifikasi ponsel yang berbunyi.
"Alhamdulillah, ada order! Aku duluan, ya" Garis senyum lebar tergurat di wajah Galih. Mudah-mudahan setelah ini ada order yang lain lagi, pikirnya.
Orderan pertama adalah pesanan enam porsi ayam goreng di restoran Suharni. Setelah konfirmasi ke kasir, Galih bergerak ke kursi tunggu. Ternyata restoran ini penuh dengan ojol! Banyak, mungkin jumlahnya sekitar 10—15 orang.
Aroma lezat mulai mengitari indra penciuman Galih. Rasa lapar makin membuncah. Perut seakan-akan berteriak, merespons bau makanan. Aroma itu, aroma makanan yang diinginkan putrinya, aroma yang juga diinginkan perutnya saat ini.
[Pak, masih lama?]
Sebuah chat masuk dari customer.
[Iya, Kak. Antri panjang.]
[Duh, minta cepet gitu, udah lapar nih anak-anak saya!]
[Ya, gimana, Kak? Harus antri.]
[Ah, ga peduli, pokoknya cepetan. Ini udah hampir 20 menit, masa masih di restoran!]
Galih menghela napas panjang. Bukan anak-anak itu saja yang lapar, Galih juga lapar—sangat lapar malah. Terlebih dia harus lama berdiam dengan aroma yang menghunjam perutnya.
[Sabar, Kak. Sebentar lagi.]
Ternyata Galih masih harus menunggu lima belas menit lagi. Chat customer itu bolak balik masuk dengan makian yang kian menjadi.
[Buruan, Pak!!! Anak saya udah nangis nih. Lelet amat sih! Ga profesional.]
[Iya, iya. Udah, Kak. Saya berangkat sekarang.]
Galih pun meluncur menuju rumah pembeli. Sayangnya, bulir besar air dari langit mulai turun. Asalnya lelaki paruh baya itu hendak berteduh, tetapi dia mengingat makian di chat tadi. Akhirnya, dia tetap menerabas derasnya air dengan jas hujan butut yang sudah mulai sobek di sana-sini.
"Maaf, basah plastiknya, Bu." Galih memberikan pesanan pada wanita keriting yang sedang
cemberut.
"Kelamaan, Pak! Masa saya nunggu sampe sejam lebih. Apa-apaan?!"
"Iya, maaf, tadi …"
"Ah, ya sudah. Bintang satu aja buat bapak." Pintu rumah seketika tertutup dengan debum keras.
Lelaki itu hanya menggeleng sembari mengusap dada. "Sabar … sabar." Dia bergumam, kemudian mencari tempat berteduh.
Sekitar sepuluh menit Galih menunggu redanya air yang tumpah dari langit. Tak lama kemudian, ponsel berbunyi. Ada pesanan makanan lagi! Namun, mata Galih mendadak sayu. Order untuk Restoran yang sama.
Hampir saja dia menolaknya, tapi urung. Jangan menolak rezeki, pikirnya. Biarlah harus menunggu lama lagi, yang penting dia bisa pulang membawa uang untuk keluarganya.
[Bu, ini pesanannya akan lama nunggu. Antri. Ngga apa-apa?] Galih mengirim pesan.
[Santai, kok, Pak. Oh iya, itu pesanan tolong dibuat tiga kresek terpisah ya: satu porsi nasi ayam lengkap, satunya lima ayam bakar, satu kresek lagi enam ayam goreng.]
[Ok. Siap, Bu]
Saat sampai di restoran, ternyata antrian lebih mengular dari sebelumnya. Hampir sejam lebih Galih menunggu, lagi-lagi dia harus bergulat dengan rasa lapar yang makin menjadi karena aroma makanan. Perutnya makin perih, kepala juga mulai terasa berputar-putar.
Bolak-balik dia mengecek ponsel, takut ada chat makian lagi yang datang. Untungnya, tak ada pesan apa pun. Aman!
"Pak Galih. Ini tiga kresek ya!" Pramusaji menyerahkan pesanan.
Galih pun segera meluncur menuju rumah pemesan. Kali ini tak ada hujan. Namun, tetap saja lelaki itu khawatir akan respons pembeli karena total hampir 75 menit Galih menunggu.
***
Sebuah rumah kecil sederhana berada di depan Galih saat ini. Lelaki itu kemudian memencet bel. Seorang gadis kecil yang seumur dengan anaknya keluar. Tiba-tiba saja Galih teringat keinginan putrinya. Hati pria itu seakan tertinju keras. Dia membawa banyak daging ayam, tapi untuk anak orang lain … bukan untuk anaknya.
"Ini, Dek. Yang dua ini ayam saja, yang satu paket nasi lengkap."
Gadis kecil itu mengambil tiga kresek yang diacungkan Galih sambil mengangguk hormat. Lalu, pria itu segera menaiki motornya.
"Eh, sebentar, Pak." Tiba-tiba wanita muda berumur sekitar 30-an muncul, "Ini buat Bapak." Dia memberikan satu kresek yang berisi paket nasi ayam lengkap.
"Eh .…" Galih bingung hendak menolak atau menerima rezeki di depannya.
"Udah diterima aja ya, Pak. Buat anak dan istri Bapak. Maaf, ga bisa ngasih banyak." Wanita dengan lesung pipi itu tersenyum. Bagi Galih, senyumnya tampak bagai malaikat.
Mata pria bertubuh kurus itu seketika menghangat. Dia langsung teringat putrinya. "Makasih, Bu." Berulang kali pria itu mengucapkan terima kasih. Bahkan, sampai sang wanita masuk rumah, Galih masih mengirim chat beberapa kali berisi doa dan ucapan di aplikasi pemesanan.
Dia merasa sangat bersyukur.
Pria itu menepi, kemudian mengintip isi paket. "Alhamdulillah!" ucapnya girang.
Segera Galih menelepon sang istri. Rona bahagia jelas terpancar di wajahnya. "Ma, bilang Dedek, Ayah pulang bawa paha ayam!"
Bandung, 05 Juli 2021
0 Komentar