AKU DAN AKU YANG LAIN (Fiksi Mini)

 


Menyebalkan! Aku melempar bantal-bantal kecil ke arah cermin besar yang berdiri di lantai. Ia tetap berdiri kokoh walau aku telah melemparinya sekuat tenaga. Cermin--yang tingginya melebihi tinggi badanku itu--dengan jelas memperlihatkan hidung dan mataku yang memerah, juga basah. 


"Udah dandan cantik, tapi nggak boleh keluar. Sebel!" Kuacak-acak rambut yang asalnya telah terjalin rapi. Mekap sempurna yang telah kupoles selama sejam pun kuhapus sembarangan. Maskara hitam yang luntur terkena air mata berpadu tak karuan dengan noda lipgloss baby pink yang telah tergores di pipiku.

 

"Sebel! Sebel! Sebel!" Aku meringsut duduk dengan tangan tertangkup di lutut, masih di depan cermin besar itu. Air dengan deras turun tak terbendung dari pelupuk mataku.


"Hei, kamu kenapa?" 


Aku menoleh ke kiri-kanan, tapi tak ada orang. "Siapa yang bicara?" tanyaku.


"Aku," jawabnya. 


Lagi-lagi aku mencari sumber suara, tetap tak ada orang. Bulu kudukku seketika meremang. Tiba-tiba hawa dingin menjalar dari ujung kaki ke kepala. Yang benar saja, masa di kamarku ada setan?!


"Hei, aku di sini. Di depanmu!" Dia berkata lagi. 


Aku memalingkan wajah ke depan. Hei! Suara itu berasal dari cermin besar di hadapanku!


"Akhirnya, kamu melihatku." 


Dia bicara! Bayangan di cermin itu! Aku melebarkan mata dengan jantung berdegup nyaring di dalam sini.


"Ka--kamu!" Aku dengan cepat bergerak mundur dalam posisi duduk.


"Jangan takut! Aku bukan hantu. Aku hanya bayanganmu." Bibirnya terlihat berbicara, tapi gerak tubuhnya mengikuti gerakanku.


"Sini, mendekat saja! Ayo, kita ngobrol."


Jantungku masih bertalu nyaring; badan sedikit gemetar. Bagaimana bisa bayangan berbicara? Seius, aku takut! Tapi ... penasaran. Ragu-ragu aku mendekat perlahan.


"Kenapa menangis? Ayo, berbagi sama aku," ujarnya lagi. 


Aku tak bisa melihat ekspresinya, tapi nada suaranya menenangkan. Tampaknya dia bukan orang jahat. Walau agak ragu, aku mulai membuka suara.


“A-aku ….” Suaraku bergetar.


“Sudah kubilang ... jangan takut!” 


Aku hanya melihat wajahku yang ketakutan di cermin itu, tapi suara yang kudengar seperti orang yang berbicara sembari tersenyum.


“Ayo cerita.” Suaranya sangat lembut terdengar.


Jantung yang bergetar di dadaku mulai mereda detaknya, tak lagi bergemuruh. Aku menarik napas panjang. Sepertinya dia memang bukan setan. Mana ada setan dengan suara lembut seperti itu?


"Aku … aku sebel. Udah siap-siap mau ke pesta ultah. Eeh … udah mau berangkat, dilarang. Padahal aku dijemput teman. Kan, jadi malu-maluin!" Aku mulai menjelaskan sembari memajukan mulutku karena sebal. "Semua-semua dilarang. Katanya anak perempuan nggak pantes pulang malem-malem. Ish … peraturan zaman batu!"


"Wah, ya udah, makan-makan di rumah aja." Bayanganku berkata.


"Ah, di rumah juga makan dibatasin. Jangan yang berpengawet, jangan yang banyak lemak. Jangan yang ada gulanya. Nanti kegemukan kata Mama. Makan buah aja, sehat. Gitu katanya! Sebel!" Mulutku semakin maju, emosi mulai naik lagi.


"Hmm … enggak enak, ya. Kalau di sini, nggak ada orang tua. Aku bebas." Nada suara bayanganku terlihat senang. "Makan juga semauku. Enggak ada aturan."


"Wah, enak banget. Di sana ada sekolah nggak? Aku benci belajar!" Aku benar-benar penasaran.


"Enggak ada, dong. Aku nggak pernah belajar." Nadanya begitu riang.


"Andaikan aku ada di duniamu, ya ..." Aku merengut, lalu mengantukkan kepala ke lutut berulang kali. “Duniaku menyebalkan. Terlalu banyak aturan!”


"Hei, aku punya ide! Kamu mau bertukar tempat denganku?" tanyanya bersemangat.


"Wah, beneran bisa? Aku mau! Di sana pasti aku bebas." Aku langsung berdiri saking senangnya.


"Oke, begini caranya. Dengar! Tempelkan kedua tanganmu di cermin. Lalu, tatap mataku lima detik. Kita akan bertukar tempat."


“Hah, semudah itu? Gampang banget! Oke aku siap!” Kuturuti perintahnya. Lalu, berhitung satu … dua … tiga … empat … lima! 


Cahaya putih menyilaukan keluar dari kaca itu. Aku menutup mata karena silau. Lalu, tubuhku terasa diputar-putar dalam kegelapan. Rasanya pusing. Aku merasa mual! 


Tak lama, putaran itu berhenti; menjatuhkanku di suatu tempat. Aku mengerjap, kemudian melihat sekeliling. Hei, benar! Aku berada dalam cermin sekarang. Menakjubkan, aku benar-benar bebas!


Eh, sebentar … kenapa?!


"Hei, kok ruangan ini sempit banget? Apa duniamu hanya sebesar ini?" Aku mengernyit heran.


Bayanganku di luar sana tersenyum. "Apa aku pernah bilang duniaku luas? Tempatku dulu hanya sebesar cermin. Sekarang jadi tempatmu. Tugasmu gampang hanya menirukan gerakanku nanti." 


"Kamu menipuku!" Suaraku melengking.


"Aku nggak menipumu. Di sana memang nggak ada orang tua, karena aku hanya sendirian. Dan aku nggak pernah sekolah karena memang tempatku hanya sebatas cermin saja, nggak bisa kemana-mana. Makan juga nggak ada aturan, karena aku hanya bisa makan kalau kamu membawa makanan di depan cermin. Jadi, nikmatilah duniamu sekarang!" Dia tersenyum penuh kemenangan.


"Hei, ini nggak adil!" Aku berteriak dari dalam sini mencoba menggedor batas cermin di hadapanku, tapi badan tak bisa menuruti mauku. Raga ini dipaksa bergerak seperti gerakan bayanganku itu!


"Loh, 'kan, kamu tadi yang minta. Kamu yang nggak puas di duniamu, kan?" Dia tertawa nyaring.


Aku diam, tak bisa mengatakan apa pun karena menahan amarah. 


Dadaku kembali bergemuruh hebat dan mata memelotot. Napasku tersengal saat kembali berteriak-teriak agar dikeluarkan.


"Terima kasih, Aku. Sekarang, kamu yang jadi bayanganku!" Lagi-lagi dia tertawa sambil berjalan pergi, meninggalkanku di dalam ruang sempit ini. Sendiri.


End.


29 Des 2020




BIONARASI

NIRMA HANDEWI. Seorang pengajar piano klasik dan womanpreneur,  mengembangkan usahanya di bidang furnishing (IG @enha.living). Dia juga mencintai dunia literasi. Telah menerbitkan empat buku antologi bersama anggota komunitas menulis, yaitu: Sejuta Caraku Mencintaimu, Cinta Tak Mengenal Musim, Asyiknya Berbuat Baik; Rumahmu, Kebaikanmu. IG: @nirma_handewi. FB: Nirma Handewi Enha






0 Komentar