TIGA RAUT WAJAH (Fiksi Mini)
Aku tersentak, tiba-tiba terbangun dari tidur. Suara keras hadir begitu memekakkan telinga. Debum dahsyat berasal dari barang-barang yang terpelanting di hadapanku.
Di sana, seorang pria dewasa mengeluarkan untaian kalimat dengan suara keras yang tak dapat kupahami. Matanya memelotot dan wajah berubah menjadi merah. Jarinya menunjuk-nunjuk paras seorang wanita yang berdiri tak jauh di depan sana.
Sang wanita tak mau kalah, meneriakkan kata-kata yang entah apa artinya. Sepertinya bahasa kasar karena pria itu membalas makin menggelegar dalam makiannya.
Sebuah benda pipih berwarna hitam diperlihatkan tepat ke wajah wanita itu. Ia pun terdiam, tampak aura ketakutan memenuhi wajah. Bulir-bulir bening pun berjatuhan dari sudut matanya. Badannya seolah tumbang, tiba-tiba jatuh terduduk ke lantai. Kembali lagi ia melisankan kata, kini dalam tangisan yang makin menjadi, seolah-olah memohon maaf.
Sang pria hanya mematung dengan wajah merah padam. Dadanya naik turun dan napas tersengal. Kemudian, seketika hening.
Datang seorang gadis cilik yang tampak bingung dengan pemandangan di hadapannya. Sang wanita pun segera berdiri untuk memeluk dan menggendong gadis mungil itu, kemudian mengeluarkan kalimat seperti memohon. Namun, tak ada jawaban dari pria itu. Suara tangis pun kembali datang. Kini bertambah dengan pekikan tangis sang bocah.
Pria itu bergerak cepat ke arah pintu keluar. Bocah cilik mengejarnya, menarik-narik tangannya, tapi ia tak peduli. Kemudian, terdengar suara keras dari bantingan pintu yang ditutup.
Tangisan kanak-kanak melengking memenuhi ruang. Sedangkan sang wanita, kembali terduduk di lantai dan lagi-lagi mengeluarkan ratapan. Badannya membungkuk, menenggelamkan wajah ke arah lantai. Kini ia memukul-mukul ubin, sembari mengeluarkan kata-kata yang terdengar bagai penyesalan.
Lama mereka menangis … kemudian sang wanita berdiri dan melangkah gontai memasuki kamar. Kini, hanya tinggal gadis cilik di sini. Dia masih menangis seorang diri, begitu lama … sampai akhirnya berhenti. Kemudian, ia melirik ke arahku dan mendekat.
Bocah itu tampak mengambil sesuatu. Kemudian, makanan berjatuhan dari atasku. Aku pun menggerakkan sirip dan ekor, segera menyantap makanan tersebut. Dia mengatakan sesuatu sambil memegangi kaca kecil rumahku yang berbentuk persegi ini.
"Jangan menangis! Dia pasti pulang," kataku. Ah, tentu saja dia tak akan mengerti arti ucapanku.
Tiba-tiba pria itu datang kembali dan menarik paksa gadis mungil itu ke arah luar rumah. Bocah itu berteriak keras. Sang wanita pun tergopoh mengejar mereka.
Aku terdiam sesaat menyaksikan mereka, kemudian … kembali berenang. (*)
Bandung, 12 Desember 2020
BIONARASI
NIRMA HANDEWI. Seorang pengajar piano klasik dan womanpreneur, mengembangkan usahanya di bidang furnishing (IG @enha.living). Dia juga mencintai dunia literasi. Telah menerbitkan empat buku antologi bersama anggota komunitas menulis, yaitu: Sejuta Caraku Mencintaimu, Cinta Tak Mengenal Musim, Asyiknya Berbuat Baik; Rumahmu, Kebaikanmu. IG: @nirma_handewi. FB: Nirma Handewi Enha
0 Komentar