DIA (Fiksi Mini)
"Ini semua gara-gara kamu! Kita sekarang dihukum Mama enggak boleh keluar kamar!" Aku menggerutu dengan tangan memeluk lutut.
"Loh, kamu juga kenapa nurut?" Dia menjawab dengan suara lirih, setengah berbisik seperti kebiasannya bicara.
"Kan, kamu yang bilang ini bisa mencuri perhatian Mama Papa?"
"Iya, dan memang berhasil, kan? Setidaknya mereka rela pulang dari kantor, menjemput kita di sekolah."
"Tapi mereka malah mengurung kita! Bodoh!" Aku menendang barang di sekitarku sehingga menimbulkan suara keras. Kenapa aku harus menuruti dia?
Beberapa kali dia memang menyarankan untuk melakukan hal-hal yang tidak baik dan dengan bodohnya aku menurut. Dia menyuruhku mengutil makanan di kantin, merundung adik kelas, mencoret-coret tembok kelas dengan cat semprot, dan terakhir mencuri uang kas kelas. Ya, memang Mama dan Papa akan datang bersama, meluangkan sedikit waktu mereka untuk memarahiku. Kata orang kemarahan orang tua itu tanda perhatian. Bukankah artinya mereka sayang aku? Tapi ….
"Kamu memang enggak becus didik anak! Memalukan. Anak kita sudah SMA, malah jadi pencuri." Kudengar sayup-sayup suara teriakan Papa.
"Kenapa aku yang disalahkan? Kamu juga punya andil mendidik anak itu, kan?!" Mama menjawab dengan suara tak kalah keras.
Ya, seperti biasa mereka bertengkar lagi. Benar-benar memuakkan mendengar kedua orang yang kucinta saling menghujat. Mereka jarang di rumah. Namun, saat bertemu, hanya aura kemarahan yang kutangkap dari mereka. Aku benci ini! Benci!
"Sudah diam! Kita memang enggak pernah cocok. Kita pisah saja!"
Aku membeku mendengar teriakan Papa. Apa mereka bilang? Pisah?
"Kamu dengar?! Mama Papa mau pisah! Ini salahmu. Mereka bertengkar gara-gara tingkahku. Gara-gara aku menurutimu!" Emosiku meledak dengan derai air mata yang membasahi pipiku.
Dia memang pengaruh buruk untukku. Lebih baik dia tak pernah ada di dekatku! Mataku menelusur penjuru ruang, mencari sesuatu. Ya, sesuatu untuk melenyapkan dia. Oh, aku menemukannya, tampak sebuah gunting besar di bagian atas rak. Aku melangkah cepat dan mengambil benda itu.
"Kamu sebaiknya tidak ada di sini!" Aku menghunjam gunting dalam genggamanku ke tubuhnya.
"Hei … hentikan! Kita ini satu jiwa!" (*)
Bandung, 10 Maret 2021
BIONARASI
NIRMA HANDEWI. Seorang pengajar piano klasik dan womanpreneur, mengembangkan usahanya di bidang furnishing (IG @enha.living). Dia juga mencintai dunia literasi. Telah menerbitkan empat buku antologi bersama anggota komunitas menulis, yaitu: Sejuta Caraku Mencintaimu, Cinta Tak Mengenal Musim, Asyiknya Berbuat Baik; Rumahmu, Kebaikanmu. IG: @nirma_handewi. FB: Nirma Handewi Enha
0 Komentar