Makhluk Dalam Hutan (Cerpen)

Lari! Lari! Lari! Hanya satu kata itu yang berdesakan dalam benak Nadu sekarang. Kakinya melangkah cepat seiring debaran dada yang mengencang. Sesekali dia melompat: berusaha menghindari semak belukar dan batu-batu di depannya. Bocah itu diliputi kekhawatiran. Para makhluk besar mengejarnya!

Tubuh Nadu yang mungil terus bergerak gesit menembus hutan belantara. Namun, para makhluk itu juga tak kalah cepat. Langkah mereka jauh lebih lebar dari sang bocah. Jarak antara Nadu dan mereka kini tinggal beberapa puluh hasta saja.


Nadu terus dan terus berlari. Dia mulai lelah.


Argh … dia jatuh! Untungnya, bocah itu berhasil bangkit lagi.


“Tolooong! Ayaaah! Ibuuu!” Suaranya diliputi tangis. Namun, teriakannya sia-sia. Nada tinggi yang terlontar tak sanggup menjangkau pendengaran orang tuanya. 


Makhluk-makhluk di belakangnya pun makin beringas. Mereka bersuara keras seraya melemparkan senjatanya. Nadu harus bergerak ke kanan dan kiri supaya tak terimbas sasaran. Energinya benar-benar terkuras. Dia sudah tak kuat lagi.


Mata sang bocah menjelajah untuk mencari tempat bersembunyi. Dia tahu dirinya tak akan selamat bila harus terus berlari. Saat itulah Nadu melihat dua batu besar dengan celah kecil di tengahnya. Itu dia! pikir Nadu. Dia harus bisa masuk ke celah itu!


"Argh!" Salah satu tangan makhluk itu berhasil menyentuh bahu Nadu. Untungnya, bocah itu berhasil mengelak, lalu merayap masuk ke celah bebatuan secepat kilat. Ternyata ruang di dalam celah itu cukup besar, hampir seperti gua. Nadu merangsek masuk ke belakang. Makhluk besar itu seharusnya tak dapat masuk dan menjangkaunya. Dia pasti aman.


Dugaan bocah itu ternyata tak sepenuhnya benar. Monster di luar sana mempunyai senjata panjang dengan ujung runcing, entah apa namanya. Mereka menghunjam ke arah sembarang. Beberapa kali tajamnya senjata nyaris mengenai tubuh Nadu. Untungnya, suasana gelap dalam bebatuan menjadi penolong. Makhluk itu tak dapat melihat dengan jelas. Nadu segera bergeser ke celah yang lebih sempit di bagian dalam. 


Karena usahanya sia-sia, para makhluk itu berhenti. Mereka hanya diam di depan celah batu. Kemudian, terdengar suara-suara dari mulut mereka. Tentu Nadu tak mengerti bahasa makhluk itu. Yang jelas, mereka seperti sedang beradu argumen karena nadanya saling menyerang. 


Di dalam celah itu Nadu meringkuk, memeluk erat tubuhnya sendiri. Jantung sang bocah bertalu tak karuan, badannya bergetar hebat dengan keringat mengucur deras. Dia berusaha keras menahan tangis agar monster itu tak mendengarnya.


Suara-suara itu perlahan menghilang. Lalu, keheningan merayap. Hanya terdengar suara gerisik dedaunan yang tertiup angin. Nadu mengintip, tampak satu makhluk duduk sendirian di depan batu. Sepertinya dia sedang menunggu bocah itu. Nadu terperangkap, tak ada harapan untuk pulang.


Beberapa lama Nadu hanya terdiam, duduk merenungi nasibnya. Apa yang harus dilakukannya? 


Tiba-tiba dia teringat nasihat ibunya. Saat sedang membutuhkan bantuan, Nadu harus berteriak dengan nada tinggi seperti sebuah auman. Bila sukunya mendengar suara itu, mereka pasti akan datang membantu. 


Nadu pun mencobanya. Dia berteriak lantang dengan nada yang diajarkan sang ibu. Berkali-kali dia melakukannya. Makhluk yang sedang sendirian di luar sana menjadi gelisah. Lalu, samar Nadu mendengar suara-suara. Sahutannya bersambut dengan nada yang sama. Ada yang mendengarnya! Hatinya menghangat. Wajah Nadu seketika diliputi kebahagiaan. 


Bocah itu tak harus menunggu lama. Suara saling bersahutan itu mulai mendekat. Para suku akan menolongnya! Makhluk di luar celah batu mulai ketakutan ketika melihat para suku bergerombol mendekat. Lalu, monster itu kabur begitu saja. Menyebalkan! pikir Nadu.


"Ayaaah!" Nadu berlari keluar dari persembunyiannya, memeluk ayahnya yang sedang berdiri tepat di celah batu.   


Ayah Nadu menyambut dekapan itu dengan gusar. "Mereka sudah mulai berani menyerang anak-anak kita! Ini tidak bisa dibiarkan!"


***

Matahari mulai melipat cahayanya. Angin kencang menerbangkan ranting-ranting pohon memasuki sebuah gua besar, tempat Nadu dan sukunya tinggal. Di depan api unggun Nadu memeluk ibunya. Dia kembali ketakutan mendengar suara-suara keras. Kali ini bukan dari monster, melainkan dari para tetua suku yang saling beradu argumen. Nada-nada tinggi membahana, bergema dalam gua besar itu.


"Mereka sudah kelewatan. Hewan-hewan di sekitar kita diburu sampai habis. Mereka akan membuat kita mati kelaparan."


"Mereka juga mengejar Nadu. Ini penyerangan!"


"Kita harus membalas."


"Serang saja."


"Kita perang!"


"Tenaaang! Diam semua!" Kepala suku berteriak. "Ingat, mereka jauh lebih besar dan lebih banyak dari kita." 


Gumaman-gumaman kecil terdengar. Wajah-wajah gelisah dengan aura kemarahan terlihat begitu menyeramkan bagi bocah kecil seperti Nadu. Dia hanya bisa memperhatikan mereka dengan gemuruh yang menggulung dalam dada. Bocah-bocah lain pun mengalami ketakutan yang sama dan merapat erat kepada ibu-ibu mereka.


"Ibu, kenapa makhluk-makhluk itu jadi jahat? Dulu kita, kan, berteman baik." Nadu berkata lirih seraya menggenggam tangan ibunya. Nadanya sedikit bergetar.


"Entah, Nak. Entah." Ibu Nadu menggeleng. Sama seperti Nadu, wanita itu juga ketakutan. Bulir-bulir bening air mulai berdesakan di pelupuk matanya. Dia mengelus-elus rambut Nadu, berusaha menenangkan hati sang anak.


"Dengar semua! Kalau mereka bisa mengambil makanan kita, maka kita juga bisa mengambil makanan mereka. Tapi, jangan sampai tertangkap! Kita kalah jumlah." Ketua suku bertitah lantang.


"Setuju!"


"Siap. Laksanakan!"


Nadu tak mengerti bagaimana cara agar mereka tak tertangkap. Dia mencoba mendengarkan perintah-perintah ketua suku, tapi tak bisa memahami dengan baik. Bahasa para tetua terlalu sulit dicerna.


***


Hari-hari berlalu dengan tenang, tak ada lagi keributan. Anak-anak bermain dengan riang di pojok-pojok gua. Namun, kebebasan para bocah sedikit terenggut. Mereka hanya boleh beraktivitas di sekitar gua saja, tak boleh lagi bermain di tengah hutan bila tak didampingi para ayah.


Nadu mulai memperhatikan sesuatu yang aneh hari itu. Dia melihat sesuatu berwujud seperti monster yang mengejarnya dulu, tapi perawakannya lebih kecil. Tingginya setara dengan tinggi warga dewasa, bahkan ada yang lebih mungil dan belum bisa berjalan. 


Para monster itu sebenarnya mirip dengan Nadu dan sukunya. Kedua tangan dan dua kaki makhluk itu serupa dengan warga di sini, masing-masing memiliki lima jari. Hanya saja makhluk itu lebih besar, tingginya hampir dua kali lipat tubuh para suku dewasa. 



Rasa penasaran menghinggapi Nadu. Bocah itu mendekati tempat makhluk-makhluk kecil itu disekap. Benar, itu mereka! pikirnya. Kulit yang lebih cerah dan rambut yang sedikit adalah ciri khusus makhluk itu. Mereka juga tak memiliki bulu selebat warga di sini yang mayoritas tangan dan kakinya berbulu panjang. Namun, kenapa tubuhnya lebih kecil? Nadu bertanya-tanya.


Suara teriakan-teriakan bernada tinggi menjalar memenuhi ruang di depan Nadu. Dia terperangah. Ternyata bukan hanya satu makhluk saja. Ada beberapa lagi di sana. Mereka semua meraung-raung.


"Nadu! Sedang apa di sini?"


 Bocah itu tersentak, sebuah tangan besar memegang pundaknya. Dia menoleh ke belakang.

"Ayah?!" Mata Nadu membulat. "Siapa mereka?" Bocah itu menunjuk ke arah suara teriakan. 


"Anak-anak para makhluk itu." Lelaki dengan kulit berwarna gelap itu menjawab datar.


"Kenapa mereka ditangkap?"


Ayah Nadu tak menjawab. Hanya mengusap-usap kepala sang bocah.


"Ayah, kenapa mereka ditangkap?"


Lagi-lagi tak ada jawaban, lelaki itu malah menggiring Nadu ke tempat bermainnya bersama anak-anak lain.  "Tempatmu di sini. Bermainlah!"    

 

Esoknya dan esoknya lagi Nadu selalu mengajukan pertanyaan yang sama kepada ayah dan ibunya. Namun, tetap saja kalimat Nadu menggantung di udara, tak terjawab. Hanya satu yang dia tahu, sejak ada makhluk-makhluk kecil itu, rezeki selalu mengalir deras. Mereka tak pernah lagi kelaparan. Hidangan nikmat selalu tersedia.


***



Panaaas! Panaaas! 

Nadu seketika terbangun. Bocah itu berpikir keras, seharusnya ini masih malam. Kenapa udara dingin tiba-tiba berganti sangat cepat? Dia melompat dari tempat tidurnya, lalu melihat sinar terang sekali dari luar ruangnya. Ibu Nadu seketika menarik bocah itu dengan kasar, menyeretnya ke luar.


"Makhluk itu menyerang kita, Nak!"


Mata Nadu memelotot dan mulutnya menganga lebar. Tubuhnya tiba-tiba tersengat aliran panas dari depannya.  Api! Kobaran besar itu menjilati hampir seluruh pintu masuk gua, menjalar cepat ke perabot-perabot kayu di sekitarnya. Teriakan-teriakan panik terdengar begitu mengerikan. Mereka terjebak! Pintu gua tertutup api!  Warga suku itu berlarian panik—saling menabrak, saling menginjak. Tak ada lagi yang peduli, diri sendiri harus diselamatkan. Saat itu pula Nadu terlepas dari genggaman ibunya.      


Ruang gua dipenuhi hawa panas yang menyengat. Keringat Nadu mengalir hebat. Asap tebal yang menggulung mengaburkan pandangan dan membuat mata sangat perih. Udara tak lagi bisa masuk ke paru-paru. Nadu terbatuk-batuk.   


"Ibu! Ibu! Ayah!" Nadu tak dapat menemukan mereka. 


Bocah itu mengikuti yang lain berlari ke arah dalam, menjauh dari api. Dia mencari tempat yang lebih aman jauh di dalam sana. Namun,  langkah Nadu tiba-tiba terhenti. Pemandangan mengerikan terpampang di depannya. Mata Nadu bagai hendak melompat keluar dari tempatnya. Badannya seketika kaku. 


Bau menyengat menyeruak. Di tempat para ibu menyiapkan hidangan, tampak berserakan tubuh-tubuh itu: bagian-bagian badan para makhluk kecil yang tersayat-sayat. Masih ada sisa jemari kaki dan rambut-rambut hitam berserakan di sana-sini. Beberapa sudah membusuk. Lantai dipenuhi darah kering; percikan merah pun hampir menghiasi tiap bagian dinding. Nadu mematung. Dalam kepalanya banyak timbul pertanyaan yang tak dapat dijawabnya sendiri. Siapa yang memotongnya?


Lalu, seseorang menariknya dengan gerakan super cepat.


"Sini! Aku tahu jalan keluar." Seorang menarik lengan Nadu dengan kuat. Itu Hori, bocah perempuan yang sedikit lebih tua dari Nadu. "Ayo masuk sini!" Hori menyeretnya ke sebuah celah kecil di bagian bawah dinding gua. 


"Tapi, ayah dan ibuku?!" Nadu berteriak.


"Mereka semua tidak ada yang selamat! Kita harus lari dari sini."


Wajah Nadu langsung diselimuti duka. Dia pun mengikuti temannya sembari menghapus air matanya yang terus mengalir. Celah di hadapan mereka sangat kecil. Kedua bocah itu harus melakukan gerakan-gerakan cerdik agar dapat melewatinya. Akhirnya ... mereka berhasil!  Ternyata celah itu membawa  para bocah ke arah hutan di samping gua. Nadu berjalan mengendap-endap agar makhluk-makhluk besar itu tak melihatnya.


"Lewat sini!" Hori berkata lirih. 


Mereka berdua berjingkat-jingkat dan bersembunyi di antara semak belukar. Saat itulah Nadu mendengar makhluk-makhluk itu berteriak-teriak tak jelas. Hanya satu kata yang tertangkap berulang di telinga bocah itu.


"*Ebu Gogo! Ebu Gogo! Ebu Gogo!" Monster-monster itu bersorak sembari mengacungkan obor di depan Liang Bua—gua di pedalaman Flores, tempat Nadu dan sukunya tinggal.



"Ebu Gogo?" Nadu bergumam.


"Kamu baru dengar? Mereka memang menyebut kita Ebu Gogo. Eh, Ayo naik pohon saja." Bocah perempuan itu berbisik dengan nada tinggi.   


 "Tidak, aku takut tinggi." Masih terbayang di benak Nadu saat dia terjatuh dari pohon dan merasakan nyeri dahsyat di tangannya beberapa waktu lalu. 


"Bodoh! Tangan yang panjang ini untuk memanjat, bisa lompat dari pohon ke pohon. Monster itu tidak pintar memanjat seperti kita. Mereka tidak akan bisa mengejar. Ayo!" 


"Kenapa kamu tahu banyak tentang monster-monster itu? Kamu juga mengerti bahasanya?”


“Ibu mengajariku banyak tentang manusia.”

“Jadi makhluk-makhluk itu namanya manusia? Kenapa mereka menyerang kita?”  


"Cerewet. Aku duluan." Hori melesat, memanjat pohon dengan cepat.


"Hei, tunggu!"



TAMAT



Ditulis kembali dengan modifikasi dari cerpen cerita rakyat flores “Kami Begini karena Kalian”: Ndiki, Maria Gua Da Lopez. Putri Bambu Kuning—Antologi Cerita Rakyat Bengkel Sastra 2019 (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Balai bahasa Sulawesi Utara, 2019)

 

=======================


*Ebu Gogo (bahasa flores): nenek pemakan daging, makhluk kerdil pencuri makanan dan pemakan anak manusia. Sebuah mitos ratusan tahun. 



Fakta:


Tahun 1977,  Dr. Timothy Darrow & Dr. Gary Ward ditemani Drajat Saputra melakukan penelitian spesies burung di hutan Flores tengah. Hanya Dr. Darrow yang berhasil pulang dengan selamat. Dia mengaku bahwa rekan-rekannya dibunuh dan dimakan makhluk kerdil mirip manusia. Persidangan tidak mempercayai ucapannya. Dr. Darrow dipenjara di LP Krobokan atas tuduhan kanibalisme dua rekannya berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan.  


Tahun 2003 , Arkeolog dari Australia, Peter Brown dan Mike J. Morwood bersama tim Pusat Penelitian Arkeologi Nasional  menemukan tengkorak kepala sebesar jeruk bali di Liang Bua (Gua besar di dalam hutan) di Flores, NTT.


Tahun 2004, Ditemukan kerangka-kerangka lain mirip manusia. Namun, memiliki tinggi tubuh tak lebih dari 100 cm dan memiliki perbandingan tungkai tangan lebih panjang daripada manusia. Penemuan ini menghebohkan para peneliti seluruh dunia. Mereka mulai membuat visualisasi dan teori-teori tentang evolusi dan spesies baru. Kemudian, mereka sepakat memberi nama spesies baru itu Homo Floresiensis.


3 Februari, Tahun 2013,  Dr. Timothy Darrow, peneliti burung yang dipenjara, meninggal dunia di LP Krobokan. Sembilan bulan setelahnya ditemukan bukti kamera yang tertinggal di dalam hutan. Di dalam kamera tersebut terdapat video para makhluk kerdil menyerang Dr. Darrow dan rekannya. 


Tahun 2015, Kisah Dr. Darrow dan dua rekannya diangkat dalam film dokumenter "The Cannibal in the Jungle" yang diproduksi oleh Animal Planet.


Sampai saat ini (tahun 2021) misteri Ebu Gogo masih terus diteliti. Para arkeolog masih penasaran dengan sosok makhluk itu dalam keadaan hidup.


========

Cerpen ini telah diterbitkan dalam antologi cerpen “Yang Mengubur di Tanah Leluhur” – KMKE (2021)

0 Komentar